=Hamimeha

Perempuan sebagai Garda Depan Literasi Digital: Strategi Pengasuhan Anak di Era Gadget

Posting Komentar
Konten [Tampil]

Strategi pengasuhan di era digital
Hai Sobat Hamim, semoga dalam kondisi saat ini kita semua dalam kondisi sehat ya!
Kali ini aku mau ngobrolin peran sebuah perempuan dan komunitas dalam pengasuhan saat ini. Bagaimana ulasannya? Yuks simak!

Di era digital yang serba cepat, anak-anak kini tumbuh di tengah arus teknologi yang tak terbendung. Pemandangan anak usia dini yang asyik bermain gadget di ruang publik bukan lagi hal asing. Bahkan, orang tua memberikan atau bahkan membelikan gadget untuk hadiah anaknya yang masih balita (anak usia bawah lima tahun) sebagai milik pribadi adalah hal biasa.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap tumbuh kembang anak, terutama dalam aspek motorik, sosial, dan emosional. Menimbang dampak jangka panjang dari penggunaan gadget pada anak bisa menjadikan anak kecanduan gadget, maka penggunaan gadget harus dibatasi atau dikontrol oleh orang tua. Orang tua mengambil peran penting dalam mengontrol dan mendidik anak di rumah (Dasopang & Lubis, 2021).

Perempuan Sebagai Garda Depan Pengasuhan 

Dalam menghadapi tantangan ini, perempuan, khususnya ibu, memegang peran sentral sebagai garda depan literasi digital keluarga.  Sebagai figur pertama yang berinteraksi intens dengan anak, ibu memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir, kebiasaan, dan sikap anak terhadap teknologi. Maka, mendidik anak di era gadget bukan hanya soal membatasi layar, tetapi juga membekali ibu dengan literasi digital yang kuat agar mampu menjadi pendamping, pengarah, dan pelindung anak dalam dunia digital.

Pemandangan anak usia dini yang asyik bermain gadget di ruang publik bukan lagi hal asing. Seorang balita merengek “Happee, happee…” kepada ibunya, meminta gawai untuk bermain. Di warung makan, anak-anak sibuk dengan layar di tangan mereka, sementara orang tua asyik berbincang. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan gadget oleh anak-anak telah menjadi hal yang dianggap wajar, seolah menyamai kebutuhan orang dewasa terhadap teknologi. Tak jarang, HP menjadi sarana menenangkan anak usia dini saat tantrum.

Orang tua khususnya ibu menjadi sosok lekat bagi anak. Hal ini tak hanya ikatan emosional karena ibu yang mengandung melainkan karena perempuan memikul peran sosial. Persepsi bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak menjadi penguat bahwa sosok ibu memegang peran krusial dalam tumbuh kembang anak. Meskipun demikian, hal ini tidak mengesampingkan peran ayah. 
Pengasuhan adalah tanggungjawab bersama antara kedua orang tua anak yakni ibu dan ayah mereka. 

Realita Anak Tumbuh di Era Digital

Miris namun inilah fakta bahwa anak yang lahir di era tahun milenial hingga sekarang merupakan anak-anak generasi teknologi. Kehadiran teknologi memang menjadi sebuah ciri kemajuan bagi sebuah peradapan. Namun di sisi lain menjadi momok bagi tumbuh kembang anak khususnya anak usia dini. 

Studi menunjukkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan pada anak dapat berdampak negatif terhadap perkembangan motorik kasar mereka. Anak-anak yang kecanduan gadget cenderung mengalami keterlambatan perkembangan motorik karena minimnya aktivitas fisik (Ramdani & Azizah, 2019). Data dari Badan Pusat Statistik (2024) mengungkapkan bahwa 39,71% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, dan 35,57% sudah mengakses internet. Bahkan, 5,88% anak di bawah usia satu tahun telah menggunakan gawai, dan 4,33% telah mengakses internet.

Situasi ini tentu mengkhawatirkan dan berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang. Upaya preventif harus segera dilakukan. Meskipun sebagian orang tua telah menetapkan batasan penggunaan gadget, data menunjukkan bahwa 22% anak tidak mematuhi aturan tersebut (Komdigi.co.id, 2025). Ketidakpatuhan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ketidakkonsistenan orang tua dalam menerapkan kesepakatan. Maka, pertanyaannya adalah “Bagaimana tindakan selanjutnya?”

Langkah Awal Krusial Mencegah Kecanduan Gadget Pada Anak   

Mencegah kecanduan gadget pada anak bukanlah proses instan. Sebuah proses panjang ini bermula dari peran awal ibu. Maka persepsi dan wawasan ibu seputar literasi digital akan berpengaruh pada bagaimana mereka mengasuh anak. Maka, langkah awal adalah menyadarkan dan membekali orang tua, khususnya ibu, dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan. 

Ibu merupakan figur pertama yang memiliki kedekatan emosional dengan anak. Bowlby (1973) menyatakan bahwa hubungan ibu dan anak mempengaruhi model mental anak, yaitu cara anak memandang dirinya dan orang lain. Jika ibu memiliki keterampilan komunikasi yang baik, maka model mental anak akan positif, yang berdampak pada kesehatan mentalnya.

Oleh karena itu, ibu dengan anak usia 3–6 tahun menjadi target utama intervensi, karena pada usia ini anak sedang mengalami perkembangan kemahiran bicara (Biddulph, 2004). Inilah poin penting dari mencegah kecanduan gadget harus dimulai dari memberi pemahaman pada ibu terlebih dahulu. Sebab menambah kemampuan orang tua dalam pengasuhan (parenting) akan memberi dampak signifikan pada bagaimana anak berkembang. Terpikirkah oleh Sobat Hamim, mengapa anak usia dini itu senantiasa nempel ke ibunya dan cenderung takut dengan orang  baru?

Teori bioekologi Bronfenbrenner (2006) juga menekankan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh interaksi antara individu dan lingkungan dalam empat sistem: mikrosistem (hubungan langsung dengan orang tua dan guru), mesosistem (interaksi antar elemen mikrosistem), eksosistem (lingkungan tidak langsung yang mempengaruhi anak), dan kronosistem (perubahan waktu dan peristiwa besar dalam kehidupan anak). Berdasarkan teori ini, pengasuhan yang relevan dengan perkembangan zaman adalah pengasuhan digital atau digital parenting.


Digital Parenting Upaya Mencegah Anak Kecanduan Gadget  

Digital parenting adalah upaya pengawasan, pembatasan, dan pendampingan orang tua terhadap perilaku anak dalam menggunakan gadget (Yusuf et al., 2020).  Tujuannya adalah mencegah dampak negatif dan mengoptimalkan manfaat positif dari penggunaan teknologi (Martínez et al., 2019). Menurut WHO (2007), pengasuhan yang baik mencakup lima elemen: koneksi, kontrol perilaku, penghargaan terhadap individualitas, keteladanan perilaku, serta penyediaan dan perlindungan. Elemen-elemen ini dapat diterapkan dalam dunia digital anak-anak.

Namun, tantangan utama dalam penerapan digital parenting adalah kesadaran ibu untuk memahami, belajar, dan mengaplikasikan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjawab tantangan ini, pemberdayaan komunitas menjadi strategi penting. Komunitas parenting di era digital memainkan peran krusial dalam mendampingi ibu menghadapi tantangan pengasuhan yang kompleks. Komunitas seperti Sidina Community, Ibu Profesional, Rangkul Keluarga Kita, dan Read Aloud telah aktif memberikan edukasi terkait parenting. Selain itu, komunitas pemberdayaan masyarakat seperti Posyandu, PKK, dan Sekolah Orang Tua Hebat (program BKKBN) juga menjadi saluran efektif untuk menyebarkan praktik digital parenting.

Peran Komunitas Bagi Perempuan Dalam Pengasuhan   

peran komunitas bagi perempuan dalam pengasuhan
Peran komunitas parenting di era digital mencakup empat hal utama. Pertama, meningkatkan literasi digital orang tua melalui edukasi tentang keamanan digital, privasi anak, dan pemanfaatan aplikasi edukatif. Kedua, menyediakan dukungan sosial dan emosional bagi ibu yang menghadapi tekanan dari media sosial dan ekspektasi masyarakat. Ketiga, mendorong kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan institusi lain dalam membentuk karakter anak yang melek teknologi namun tetap beretika. Keempat, menjadi wadah edukasi dan pelatihan digital parenting, seperti pelatihan penggunaan gadget secara sehat, pengawasan konten digital, dan komunikasi terbuka dengan anak.

Poin penting dari proses edukasi ini adalah memberdayakan perempuan yang berperan sebagai ibu. Konsep woman support woman menjadi landasan bahwa perempuan dapat saling mendukung dalam menjalankan peran pengasuhan. Langkah ini tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Komunitas ibu menjadi sarana efektif untuk membangun ekosistem positif dalam menerapkan digital parenting. Melalui komunitas, ibu dapat saling mengedukasi, meningkatkan wawasan, dan memberikan dukungan emosional dalam menghadapi tantangan pengasuhan.

Dalam konteks perubahan sosial yang terencana, Jones (dalam Zaltman, 1972) menekankan pentingnya tujuan bersama, kerja sama antara ilmu sosial dan organisasi, serta penggunaan metode ilmiah yang sistematis dan valid. Sementara Kotler (1972) membagi elemen perubahan sosial menjadi lima: penyebab perubahan (cause), agen perubahan (change agency), target perubahan (change target), saluran perubahan (channels), dan strategi perubahan (change strategy). Perempuan sebagai ibu dapat berperan sebagai agen perubahan dalam membentuk literasi digital keluarga.

Pentingnya Dinamisasi dalam Setiap Hal Termasuk Pengasuhan  

Mendidik anak di era gadget membutuhkan pendekatan yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis literasi digital. Perempuan, dalam perannya sebagai ibu dan anggota komunitas, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan sosial yang membangun ekosistem pengasuhan digital yang sehat. Melalui komunitas parenting, pelatihan literasi digital, dan dukungan sosial, ibu dapat saling menguatkan dan belajar bersama menghadapi tantangan pengasuhan modern.

Peran perempuan sebagai garda depan literasi digital keluarga bukan sekadar wacana, melainkan strategi nyata dalam membentuk generasi yang cakap teknologi namun tetap beretika. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas, serta semangat woman support woman, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendidik bagi anak-anak Indonesia. Karena literasi digital keluarga dimulai dari ibu yang sadar, teredukasi, dan berdaya.

Daftar Pustaka

Biddulph, S. (2004). Raising Boys: Why Boys Are Different—and How to Help Them Become Happy and Well-Balanced Men. Ten Speed Press.
Bowlby, J. (1973). Attachment and Loss: Volume II. Separation: Anxiety and Anger. Basic Books.
Bronfenbrenner, U. (2006). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Harvard University Press.
Dasopang, M. D., & Lubis, A. H. (2021). Perempuan-Perempuan Tangguh Penjaga Nilai-Nilai Keislaman Anak: Studi Daerah Minoritas Muslim. Kafaah: Journal of Gender Studies, 11(1), 81-92.
Komdigi.co.id. . (2025). Statistik Penggunaan Gadget Anak Usia Dini. Retrieved from https://komdigi.co.id diakses tanggal 4 Agustus 2025 pukul 13.14 WIB
Kotler, P. (1972). A generic concept of social marketing. Journal of Marketing, 36(2), 46–54.
Martínez, I., García, J. F., Fuentes, M. C., & Veiga, F. H. (2019). Parenting styles and children’s adjustment: A meta-analysis. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(15), 2770.
Ramdani, R., & Azizah, N. (2019). Dampak penggunaan gadget terhadap perkembangan motorik kasar anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(2), 421–430.
WHO. (2007). Better Parenting: A Guide for Parents. World Health Organization.
Yusuf, A. M., Sari, D. P., & Hidayati, N. (2020). Digital parenting: Strategi pengasuhan anak di era digital. Jurnal Pendidikan Anak, 9(1), 45–56.
Zaltman, G. (1972). Processes and Phenomena of Social Change. Wiley.

Hamimeha
Bismillah, lahir di Pulau Garam, tumbuh di kota Santri, menetap di kota Pahlawan., Saat ini suka berbagi tentang kepenulisan-keseharian-dan parenting., ● Pendidik, ● Penulis 11 buku antologi sejak 2018, ● Kontributor di beberapa media online lokal dan nasional sejak 2019, ● Praktisi read a loud dan berkisah, ● Memenangkan beberapa kompetisi menulis dan berkisah, ● Narasumber di beberapa komunitas tentang parenting dan literasi. ●
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar