=Hamimeha

Memutus Rantai Inner Child Yang Terluka Mulai Dari Kita!

19 komentar
Konten [Tampil]


Hai Sobat Hamim, apa kabar?

Senang sekali weekend ini cukup produktif. Terlebih ketika aku bisa hadir di acara webinar Komunitas Indonesian Social Blogpreneur ( Komunitas ISB ) yang bertema "Bertemu Dengan Inner Child" yang digagas Teh Ani dan tim.

Masya Allah, bagiku ini adalah kesempatan emas. Sebab pemateri webinar adalah orang yang ahli di bidangnya, yakni Mbak Diah Mahmudah dan Mas Dandi Birdi dari Dandiah Care. Ehm, tentu tak asing bukan dengan nama keduanya?

Yups, mereka adalah pasangan kece, keduanya adalah psikolog dan psikoterapis founder dari biro psikologi Dandiah Care, biro konsultasi keluarga untuk membangun positive parenting. Tak hanya bermodal ilmu secara teori psikologi, namun juga dilatarbelakangi oleh pengalaman personal mereka selama menjalankan peran sebagai orang tua.

Tak hanya itu, keduanya telah menghadirkan beberapa buku berbobot  diantaranya Trilogi Membasuh Luka Pengasuhan, Anger Management, dan terbaru adalah Literasi emosi, dan lain-lain. Wah judul bukunya saja cukup memberikan daya tarik ya untuk dijadikan referensi ilmu kita.

Nah, lalu apa saja nih insight yang aku dapat selama hampir dua jam duduk manis menyimak? Sepanjang pemaparan yang mengalir dari Mbak Diah maupun Mas Dandi, aku mengambil poin pada memutus rantai inner child yang terluka mulai dari kita. Iyes, kita sebagai orang tua. 

Yup, jadi ketika kita ingin membangun positive parenting keluarga kecil kita. Maka langkah awalnya adalah mulai dari peran orang tua sebagai pelaku pola pengasuhan itu sendiri. Wah, pasti Sobat Hamim penasaran nih. Gimana sih maksudnya?

Yukslah lanjut ke ulasan lengkapnya!

Langkah Awal, Kenali Dirimu!


Sejak awal mendengar kata inner child, entah kenapa mindset yang terbangun dalam otakku adalah kenangan masa kecil yang tidak menyenangkan. Sobat Hamim apakah sama denganku?

Padahal nih kata Mbak Diah siang itu, "Inner child itu ada dua. Ada inner child positif dan negatif." Beliau menambahkan lagi, bahwa sebagai orang tua dalam menjalankan proses pola pengasuhan kita pada anak cukup dipengaruhi oleh bagaimana inner child kita.

Sedihnya, sebagai orang tua saat menjalankan peran mendampingi anak akan terasa lebih sulit ketika kita masih memiliki PR di masa lalu, yakni inner child negatif dalam diri kita.
Jika ada inner child negatif yang ternyata mendominasi maka harus diselesaikan dulu.

Nah lho, adakah yang pernah mengalami de javu? Saat membersamai anak kemudian kita dihadapkan pada situasi emosional, reaksi kita mirip dengan perlakuan (mungkin) kurang baik orang tua kita di masa kecil kita dulu?

Yups, jika jawaban Sobat Hamim iya. Maka, sadarilah bahwa ada yang belum selesai dari inner child negatif dalam diri kita. Pun denganku, ada saat dimana dalam kondisi tertentu kadang aku masih terbawa emosi saat bereaksi kepada anak dan suami.

Dan aku seakan dilempar ke masa lalu yang membuatku mengingat kejadian serupa. Reaksiku, emosiku, ekspektasiku pada anak, suami, bahkan keluarga kecil yang saat ini aku bangun mirip dengan yang pernah aku terima.

Sungguh bagiku itu suatu hal yang menyebalkan. Dan setelah aku menyadarinya, aku hanya terdiam bahkan bisa menangis. Ah, tampaknya memang aku belum selesai dengan inner child-ku ini. Bahkan saat ini aku sedang berjuang menemukan solusi terbaik mengatasinya.

Arti inner child

Inilah alasanku sangat excited hadir di webinar gagasan Teh Ani (Komunitas ISB) di grup ODOP kami ini. Sungguh aku ingin membekali diri dengan ilmu. Sejujurnya, ini adalah webinar kesekian yang aku ikuti dengan pembahasan topik parenting. Namun untuk fokus menjelaskan terkait inner child, ini adalah yang pertama.

Yup! Aku menemukan langkah awal memutus rantai inner child yang terluka dalam diriku melalui pemaparan penulis buku Membasuh Luka Pengasuhan ini. Serasa menemukan seberkas cahaya yang menuntunku menemukan jalan.Inilah pentingnya ilmu sebelum amal. 

Kini aku tahu Sobat Hamim, langkah awal yang perlu aku lakukan adalah self awareness. Aku perlu menggali lagi luka dan sumber luka yang masih aku bawa itu.

Bagaimana Cara Mengenali Inner Child Terluka?


Ketika kita bertemua inner child yang terluka. Mbak Diah memberikan penjelasan bahwa kita perlu memastikan dimana posisi luka itu, di level mana luka pengasuhannya, di domain yang mana?Menyimak pemaparan ibu dari tiga anak ini, aku semakin sadar bahwa menyelesaikan inner child yang terluka itu memang butuh proses panjang.

Pasalnya, dengan kita mengetahui akar masalahnya maka akan lebih mudah untuk menemukan solusi terbaik. Ibarat sakit kita perlu obat dengan dosis yang tepat bukan?

Sebab inner child yang terluka

Begitu pula yang dilakukan oleh pasangan dari founder Dandiah Care ini. Keduanya memberikan pemaparan terkait pendekatan apa yang mereka lakukan saat melakukan coaching, maka perlu menganalisa sejauh mana inner child yang terluka ini. Setelah itu barulah dicari pendekatan terbaik yang sesuai untuk menyelesaikan akar masalahnya. Inilah yang disebut pendekatan holistic.

Saat kita belajar tentang terkait inner child ini sejatinya kita tidak sedang menghakimi masa lalu apalagi menyalahkan orang tua kita.

Mbak Diah dan Mas Dandi menuturkan, bahwa kita sedang menyiapkan diri untuk menjadi pribadi yang mindfulness kini dan di masa depan dengan menyelesikan inner child yang terluka ini. Adanya luka pengasuhan ini harus diselesaikan, bukan dibiarkan apalagi dilupakan. 

Jadi, insight sederhana yang coba aku ambil ya Sobat Hamim, tentang dari cara mengenali inner child yang terluka ini adalah membutuhkan sebuah kejujuran dari diri kita, kesadaran kita atas self awareness, jika perlu kita bisa menggunakan beberapa tools semacam kuisioner yang bisa mengukur sejauh mana inner child kita terluka.

Kabar baiknya, dalam buku Membasuh Luka Pengasuhan dilengkapi dengan kuesioner ( assessment) yang membantu kita untuk mengenali inner child kita yang terluka. Syaratnya sekali lagi, jujurlah pada diri sendiri apa yang dirasakan dan alami.

Wah aku jadi mupeng buat order juga nih :(. Bismillah menabung untuk investasi ilmu.

Merangkul Inner Child Yang Terluka


Setelah menemukan  menemukan inner child yang terluka, maka kita akan melangkah ke tahap selanjutnya. Bagaimana menanggapi fakta tentang inner child kita yang terluka?

Marah? Menyesal? Kecewa? Atau bahkan kita akan menyalahkan takdir dan mengutuk masa lalu karena lahir dari keluarga dengan orang tua yang memberikan luka pengasuhan hingga terbawa sampai kita dewasa?

Tak jarang aku mendapati sebuah pernyataan, "Ya sudahlah, namanya juga takdir. Itukan masa lalu, memangnya kamu mau menyalahkan orang tua yang sudah membesarkanmu?" Sekilas komentar semacam ini memang benar.

Namun sadarkah bahwa pernyataan di atas sejatinya sedang membawa kita untuk memendam luka dan luka itu masih menyisakan sakit karena tak diberi ruang untuk disembuhkan. Sebenarnya, saat kita menyadari bahwa memang ada luka pengasuhan yang kita terima bukan berarti kita sedang menghakimi orang tua kita.


Quote mbak diah mahmudah

Akan tetapi, hal ini adalah bekal untuk kita agar tidak melakukan hal yang sama. Sebab, bisa jadi apa yang dilakukan oleh orang tua ketika itu bukanlah hal yang disengaja. Seharusnya, kita perlu open minded dan bersyukur sebab di era sekarang ini dimudahkan untuk menimba ilmu tak terkecuali ilmu-ilmu parenting. Sedangkan orang tua kita, mengalami banyak keterbatasan dalam hal tersebut.

Mengutip dari apa yang disampaikan Mbak Diah yang diulang beberapa kali selama webinar, " Jemputlah ilmu, sebab ilmu adalah nafas kehidupan. Dengan ilmu maka akan melahirkan kebaikan-kebaikan."

Masya Allah ya, inilah pentingnya hadir di majelis ilmu. Selain menjadi nutrisi bagi akal kita juga mendapatkan doa dari malaikat lho!

Jadi bagaimana reaksi kita setelah mengetahui bahwa kita punya inner child yang terluka? Jawabnya adalah terimalah. Ya, beri ruang penerimaan dalam diri kita. Akui bahwa memang ada luka, lalu rangkullah inner child yang terluka itu.

Ya, kita perlu merangkul inner child yang terluka dalam diri kita. Bukan menutupi apalagi membiarkan luka itu menular ke anak-anak kita. Tidak juga menekannya atau bahkan memaksa melupakannya. Sebab jika kita melakukan hal tersebut, maka bisa jadi ketika kita menemui suatu kondisi tertentu maka adanya luka pengasuhan yang belum selesai ini akan muncul. Nah lho, gimana donkz?

Maka langkah awalnya ya, yuks kita selesaikan dulu masalah dalam diri kita. Jika saat ini orientasi kita adalah bersemangat belajar psikologi positif untuk membangun positive parenting di keluarga kita. Dari sinilah kita akan menjalani functional family. Insya Allah.

Satu langkah untuk memutus rantai inner child yang terluka dalam diri kita. Ya mulai dari kita bukan?

Mungkin benar, jika ada andil dari pola asuh orang tua kita sehingga meninggalkan inner child yang terluka dan terbawa hingga dewasa. Namun pahamilah bahwa memilih bertanggung jawab untuk pulih atau menahannya adalah diri kita sendiri.

Mbak Diah menuturkan,"Saat kita menyadari ada luka pengasuhan yang kita bawa saat ini. Maka mari kita ubah mindset dari zona mental korban menjadi zona penerimaan dan zona keimanan. Ini tentang bagaimana mengubah respon kita terhadap takdir hidup yang kita alami."


Masya allah jleb banget!

Inilah keunggulan yang ada di Dandiah Care Centre, bahwa para foundernya tak hanya menjadikan ilmu psikologi saja sebagai pijakan melakukan coaching. Melainkan, ada nilai spiritual yang dihadirkan untuk membuat hidup lebih mindfulness. Sebagai seorang muslim landansannya adalah Al-qur'an dan Hadits.

Sesuai dengan semangat dalam mempelajari psikoligi positif yakni tentang ; Forgiveness – Empowering – Grateful!! Bismillah!


Tahap Selanjutnya, Memutus Rantai Inner Child Yang Terluka Mulai Dari Kita!

Fyi nih Sobat Hamim, aku pernah membaca sebuah buku berjudul "The Danish Way of Parenting" dalam buku tersebut ada satu pernyataan yang menjadi resep bagi negara Denmark sehingga bisa menjadi negara paling bahagia di dunia selama bertahun-tahun.

Apakah rahasianya?

Bahwa anak yang bahagia akan tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia sehingga dia bisa membangun keluarga yang bahagia. Wah, menarik bukan? Bukankah ini yang kita harapkan pada umumnya? Tapi bagaimana bisa mengasuh dengan bahagia jika orang tuanya saja masih punya PR untuk lepas dari perasaan tak bahagia?

Nah, inilah yang dalam bab satu di buku ini membahas tentang "default setting" atau pembawan alami kita. Kecenderungan reaksi kita biasanya dipengaruhi oleh pembawaan alami ini. Pembawaan alami menurut buku the Danish way of parenting adalah tindakan atau reaksi yang kita lakuakn ketika kita terlalu lelah untuk memilih cara yang lebih baik. Ah, aku jadi merasa meski sudah banyak membaca, mengikuti webinar, tapi pengendalian emosiku ini masih kurang baik.Hiks

Tampaknya aku perlu nih menghadirkan buku dan mempraktikan dalam buku Anger Management karya Mbak Diah dan Mas Dandi. 

Ini selaras dengan pernyataan Mbak Diah bahwa kualitas resiliensi kita akan teruji saat kita menghadapi challenge-challenge kehidupan. Khususnya ketika kita sudah menikah. Seperti yang terjadi di kehidupan keluarga Mbak Diah dan Mas Dandi, siapa sangka di puncak karir sebagai seorang pengusaha, Allah menguji lewat anaknya. Dan melalui ujian inilah, pasangan suami istri ini akhirnya menyadari bahwa hidup bukan tentang sekadar materi. Jika menjadikan materi sebagai orientasi maka itu salah besar, ungkap Mbak Diah dengan bijak.

Akhirnya, dimulailah petualangan untuk menyembuhkan diri. Psikolog juga manusia, meski secara profesional adalah seorang psikolog namun saat sakit tetap butuh orang lain untuk membantu proses penyembuhannya. Apalagi jika berkaitan dengan inner child yang terluka.

Yes, di poin ini aku merasa inilah praktik nyata tentang memutus rantai inner child yang terluka mulai dari diri kita. Ini langkah nyata, bukan merutuki takdir. Melainkan memberi respon yang positif atas takdir yang sudah terjadi.

Pun tidak melakukan penghakiman untuk mencari kambing hitam. Sebab sekali lagi, tanggung jawab untuk pulih dari luka pengasuhan ini adalah kita sendiri. Dan bagaimana langkahnya?

Langkah Memutus Inner child yang terluka insight versi Hamim


Yup, Sobat Hamim gak sabar kah langkah nyata apa yang bisa kita lakukan? Ini insight yang aku dapat dari menyimak webinar dari komunitas ISB bertema "Bertemu dengan Inner Child"


Pertama, self awareness


Ini sesuai dengan ulasanku mengenali diri. Penting bagi kita untuk bisa memvalidasi emosi kita. Di sinilah pentingnya self awareness. Jujur dan akui jika memang kita punya luka pengasuhan di masa lalu.

Tidak ada perbedaan gender dalam hal emosi. Baik laki-laki maupun perempuan berhak mengalami emosi apapun. 

Mas Dandi juga menjelaskan, bahwa selama ini beredar paradigma yang keliru tentang emosi. Misal anak laki-laki kok nangis? Nah padahal siapapun itu boleh nangis, boleh, sedih, boleh marah namun harus dialirkan dengan cara yang tepat.
Ah, aku jadi semakin mupeng nih dengan buku cover hitam karya pasangan keren ini yang berjudul "Anger Management". Tampaknya aku perlu banyak membaca seputar mengalirkan emosi negatif khususnya marah dengan cara yang tepat.


Kedua, forgiveness

Setelah kita tahu, bahwa memang ada inner child kita yang terluka maka mari kita buka ruang penerimaan. Buka juga ruang maaf, melalui proses ini maka kita akan belajar untuk memunculkan sisi happy child.

Perlu Sobat Hamim ketahui, bahwa dalam setiap diri seseorang itu akan ada tiga sisi yakni sisi anak, sisi orang dewasa, dan sisi orang tuanya. Nah, pertanyaaanya dari ketiga sisi tersebut manakah yang lebih dominan?

Aku pernah mendengar sebuah pernyataan, bahwa sisi childish dalam diri seseorang tidak selamanya buruk. Karena ini bisa menjadikan seseorang lebih humoris, penyayang, dan menyenangkan jika ditunjukkan dalam kondisi yang tepat tentunya.

Ketiga, growing

Growing (up) artinya bertumbuh. Dalam hal ini langkah memutus rantai inner child kita adalah fokus pada potensi kita. Umumnya, seorang anak yang memiliki luka dalam pengasuhan membuat mereka merasa insecure.

Yup!

Insecure sendiri adalah rasa takut atau merasa tidak aman. Emosi dasarnya asalah takut dan malu. Sehingga cenderung menyalahkan diri sendiri. Bahkan ada juga untuk menutupi insecurenya bersikap over dalam segala aktivitasnya.

Wow, apakah kita memiliki ciri seperti itu?

Nah nah, yuks kita mulai fokus pada diri kita. Stop membandingkan diri dengan orang lain dan underestimate pada diri sendiri.

Kita sudah belajar untuk memberi ruang maaf maka selanjutnya yuks kita growing up sesuai minat bakat kita. Fokus berkarya!

Setiap kita punya potensi, tinggal mau dikembangkan atau tidak? 

Keempat, healing

Wah, ini adalah kosa kata yang akhir-akhir ini kita dengar. Tapi tahukah Sobat Hamim, bahwa healing itu tak sama dengan rekreasi. Dalam healing ada proses fighting. Healing itu proses penyembuhan. Mbak Diah menyampaikan bahwa healing itu perlu dianalisa juga masalah kita apa sehingga proses healing yang tepat seperti apa.

Jadi healing tiap orang satu dan orang lain tentu tak sama. Ada yang dengan tidur adalah healing bagi mereka. Ada yang liburan adalah healing. Bahkan ada yang menyendiri adalah healing.

Selama itu adalah bentuk proses penyembuhan dengan cara baik maka kita boleh melakukannya. Temukan sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan, itu adalah bagian dari menuntaskan luka pengasuhan kita yang tertinggal hingga dewasa.

Kelima, empowering

Yes, terakhir adalah empowering. Mengenal diri, mengtahui potensi, serta tahu apa diinginkan membuat kita menjadi pribadi yang lebih positif dan produktif.

Inilah yang disebut berdaya atau empowering. Aku salut dengan buku kedua Trilogi pengasuhan besutan Mbak Diah dan Pak Dandi yang berjudul "Trip to Forgive". Rupanya ini adalah buku antologi karya orang-orang yang menyelesaikan luka pengasuhan mereka dibawah bimbingan Dandiah Care. Masya Allah.

Sungguh tak mudah menjadikan menulis sebagai media healing. Namun pasalnya, puluhan penulis yang sudah menjalani proses membasuh luka pengasuhan meraka ini akhirnya bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan agar bisa diambil hikmah oleh pembacanya.
Buku dandiah care

Ah, aku jadi mupeng semua buku yang pasti berisi daging ini. Kini aku mulai memahami memang kita tak bisa terpenjara oleh innerchild kita yang terluka sehingga membuat kita pribadi yang tak berdaya.

Jika ingin menyiapkan generasi yang lebih baik maka mari kita mulai dari diri kita sebagai orang tua. Memutus rantasi inner child yang terluka itu sampai kita saja.


Bismillah, kita mencoba untuk menemukan celah dibalik luka. Serta mengambil hikmah dibalik musibah. Bgeitu pesan menenangkan dari Mbak Diah sebagai closing statement webinar Berte,u Inner child yang aku ikuti.

Mengubah respon kita terhadap takdir inilah yang sedang kita bentuk. Yuks mulai dari kita untuk memutus rantai innerchild yang terluka ini. Yuks bisa yuks!

Hamimeha
Bismillah, lahir di Pulau Garam, tumbuh di kota Santri, menetap di kota Pahlawan., Saat ini suka berbagi tentang kepenulisan-keseharian-dan parenting., ● Pendidik, ● Penulis 11 buku antologi sejak 2018, ● Kontributor di beberapa media online lokal dan nasional sejak 2019, ● Praktisi read a loud dan berkisah, ● Memenangkan beberapa kompetisi menulis dan berkisah, ● Narasumber di beberapa komunitas tentang parenting dan literasi. ●

Related Posts

19 komentar

  1. Ternyata inner child ini luar biasa, ya.
    Bisa berimbas banyak pd kehidupan di masa dewasa juga.
    semoga Allah menjaga, melindungi kita dan memampukan kita utk menghadapi semua hal.
    nurul https://bukanbocahbiasa(dot)com/

    BalasHapus
  2. Secara gak sengaja mungkin aku juga pernah melakukan inner child ini terhadap kedua anak lajangku, namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai lebih sabar dan kembali melakukan pendekatan secara emosional dgn keduanya.
    Aku izin simpan tulisan ini ya, mbaa, 🙏🏻
    Mana tau suatu hari anak-anakku memerlukannya 🤗

    BalasHapus
  3. Betul, porsi terbesar dari proses memutus rantai inner child ya harus bisa self healing

    BalasHapus
  4. Sepertinya memang jejak inner child hampir membayangi semua orang, ya, tinggal kita nya, mau berusaha merubah sesuatu yg negatif ke positif, atau malah membiarkannya berlarut. Duh Allah semoga diri ini diberi kekuatan menjadi hamba yg hanif. Aamiin. Thankyou for sharing, mba Hamim, sangat bermanfaat...❤️

    BalasHapus
  5. Setuju banget sama poin healing nggak bisa disamakan dengan rekreasi. No! Beda jauh. Healing memang bisa dilakukan dengan sarana rekreasi, tapi makna healing jelas berbeda dengan rekreasi. Byw sepertinya aku juga butuh buku anger management

    BalasHapus
  6. Ada masa di mana saya sadar saat melakukan sesuatu ke anak "oh itu inner child saya" jadi bisa menghindari perlakuan yg sama kayak waktu dulu saya terima, di waktu lain bisa lupa juga. Baru sadar beberapa waktu setelah kejadian. Ah, emang masih harus banyak belajar lagi..

    BalasHapus
  7. Ak sejujurnya masih denial terhadap apa yang aku alami.
    Dan lama-lama terbiasa dengan keadaan seperti ini, yang menganggapnya bagian dari takdir.

    Ingin sekali rasanya membaca buku trilogi Dandiah.

    BalasHapus
  8. bukan proses yang mudah tetapi juga bukan tidak mungkin memutus rantai inner child yang terluka

    BalasHapus
  9. Sama-sama ikut workshop ini kita ya mbak hamim
    Keren banget pematerinya, suami istri produktif. Online aja dapat banget, apalagi kalau workshopnya offline pst merinding terus

    BalasHapus
  10. Aahh,, berul sekali.. Ilmunya dr mereka dalem banget ya mba.. Bertemu dengan luka inner child, kadang kita jg tidak tau bahwa kita bertemu dengan innerchild kita yg terluka..

    BalasHapus

  11. Setuju banget,kadang luka-luka masa kecil itu ,masih terasa perih sampe tua.
    Tapi ya itu,kadang kita gak tau gimana mencari pertolongan. Nah,aku juga heran kok nginep di gunung/pantai sekarang disebut healing 😁.

    BalasHapus
  12. Ada satu lagi yang menurutku penting kalau mau memutus rantai inner child: Jangan denial kalau punya inner child. Kita tidak akan bisa memutus rantainya kalau kita nggak mengakui inner child tersebut ada di diri kita.

    BalasHapus
  13. Aku juga pernah nulis soal innerchild cuman ternyata di sini aku menemukan sudut pandang baru meskipun rumpunnya sama nantinya. Bener banget sih,kalau kita yg ngerti ya harusnya berhenti di kita ya mbaa

    BalasHapus
  14. Semoga siapapun bisa berdamai dengan diri sendiri dan inner child nya

    BalasHapus
  15. Menarik sekali temanya dan terima kasih Mbak, sudah menuliskan dengan lengkap liputannya. Serasa hadir di acaranya saya
    Saya punya inner child positif smeentara suami negatif..ini kadang berbenturan bahkan agak meruncing karena kedua anak kami kini sudah remaja yang sedang dalam posisi labil-labilnya. Beneran perlu penyesuaian. Setuju, jika luka pengasuhan yang kita terima bukan berarti kita sedang menghakimi orang tua kita.

    BalasHapus
  16. yeay aku juga udah hampir lengkap bukuu teh diah dan mas dandy. aku juga pernah nulis mbak tentang luka pengasuhan dari teh diah, buku trip to forgivenya. tengok ya di blog ku hehe. oya aku ikutan nulis di buku trip to forgive yg kedua hihi

    BalasHapus
  17. Ya mbak, memang inner child ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita ya mbak
    Makanya perlu banget diatasi ya

    BalasHapus
  18. Ahhh, apa atuhlah aku mah nangiiiss baca artikel gini aja...
    Thanks for sharing, Mbak Hamim. Ngomong-ngomong soal innerchild selalu nggak bisa nahan, tapi syukurlah sekarang itu banyak yang bisa membantu kita sembuh dan bangkit dari luka itu.

    BalasHapus
  19. bahagia dengan berlandaskan ilmu ma syaa Allah

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular