=Hamimeha

Bukan Anak Sultan

35 komentar
Konten [Tampil]

Bukan anak sultan adalah catatan receh aku sebagai pecinta buku. Cerita ikhtiar kami menghadirkan buku bergizi dan menyehatkan. Semoga bermanfaat.

Setiap kali melihat bocahku yang hobi banget baca buku. Ingatanku melayang ke puluhan tahun silam. Seorang gadis cilik, tinggal di sebuah perkampungan. Hidup di lingkungan yang jauh dari kata "berpendidikan". Bekerja, mengumpulkan rupiah demi asap dapur yang harus mengepul.

Setiap kali si gadis cilik menemukan sobekan koran. Betah baginya berlama-lama membaca tiap kata yang tertulis di dalamnya. Entah apa isinya, yang ia tahu hanyalah keinginan membaca. Apapun!

Begitulah gambaran betapa menghadirkan bacaan yang menjadi sumber ilmu adalah suatu hal yang langka karena banyak sebab.

Namun di zaman sekarang, tantangan zaman makin kejam. Tak hanya soal perut kenyang akan tetapi bagaimana memberi nutrisi bagi akal, hati dan pikiran.

Teringat cuplikan seminar pekan lalu, seorang peserta bertanya.

"Bagaimana bisa membuat anak didik kita tak hanya memgenal atau bahkan sekadar tahu tentang sosok Rasulnya, kisah teladan lainnya?"

Si pemateri bahkan mengambil napas panjang ketika akan menjawab, terkesan berat betul mendidik anak di zaman ini.
" Berbeda, anak zaman dulu dengan sekarang ini. Kemajuan teknologi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan menjadikan anak-anak sekarang bisa menjangkau banyak hal. Hanya lewat gawai di tangan. Mereka dilahirkan sebagai generasi yang cerdas, hingga haus ilmu untuk memuaskan akal dan logika berpikir mereka."

Lanjutnya," Sampaikanlah dengan tabligh, sentuh sisi emosional mereka. Hati dan perasaan mereka, tak ada teknologi secanggih apapun yang bisa menggantikan nilai emosional seseorang. Dan membacakan siroh merupakan salah satu sarana melembutkan hati."

Sekilas begitulah yang tertangkap dari ulasan seminar kala itu.
Perlu kita pahami, bahwa anak kita hidup di zaman yang berbeda dengan orang tua mereka semasa hidup. Menyiapkan mereka  untuk tangguh adalah salah satu langkah bijak agar mereka mampu bertahan dari berbagai rintangan kelak.

Semoga kita dikuatkan membimbing anak-anak kita hingga menjadi manusia tangguh di zamannya. Aamiin.

Buku.
Ya, salah satu wasilah sebuah keluarga mendidik anak-anaknya adalah dengan menghadirkan buku-buku terbaik. Sebagai media belajar ataupun bertutur kisah. Apalagi jika itu kisah-inspirasi semacam sirah rasul, nabi ataupun sahabat.

Memang harganya tak murah. Bahkan bisa dibilang mahal.
Karena mungkin kita bukan "anak sultan". Maafkan jika meminjam istilah ini. Insya Allah dengan tekad dan semangat yang kuat, ikhtiar terbaik senantiasa ada jalan menghadirkan buku-buku bergizi di rumah. Terus berdoa, minta kepada sang Pemberi rezeki, semoga dibukakan keran-keran rizki dari arah yang tak disangka-sangka. Aamiin.


Suatu kali kudapati celetukan seseorang yang masih saudara sendiri, "Buku kayak gitu berapa harganya, Mim?" Sembari melihat si kakak yang asyik membolak balik buku satu jilid yang dia bawa.
Ku jawab dengan seulas senyum.

"Berapa sih?" desaknya lagi.

"Mahallah!" sahut yang lain menimpali.

"Yang bisa beli buku macam itu ya dhek Hamim. Kalau aku harga buku mahal, rusak nanti tinggal nyeselnya." Lalu diiringi pecah tawa dari semua. Pun denganku yang sedari tadi tak ingin angkat suara. Hanya senyum sesekali dan lebih banyak menyimak.

Dan masih banyak contoh percakapan serupa saat beberapa orang melihat bandrol harga sebuah paket buku seharga gadget baru. Akupun meng-iya-kan akan besarnya jumlah rupiah yang harus kami keluarkan saat menghadirkan buku-buku itu.

Pada awalnya aku pribadi merasa tak minat untuk beli buku seharga uang belanja bulanan itu. Namun setelah menjadi orang tua. Membaca referensi dan memahami satu hal. "Apa yang akan kamu tinggal untuk mereka saat kalian sudah tak bersama?"

Jleb!

Ini bukan tentang bilangan harga. Bukan pula karena aku punya banyak harta. Bukan! kami belum semampu itu. Keuangan kami juga masih muter kayak roalcoaster, tak berlebih. Namun ini babnya bukan mampu atau tidak mampu. Tapi mau atau tidak mau!

Nah, sebelum membeli aku benar-benar membaca apa keuntungan dari memiliki buku ini. Aku sesuaikan dengan kebutuhan kami, anak-anak khususnya. Sebagai orang yang fakir ilmu. Aku merasa perlu backing yang kuat menjadi guru di rumah. Menciptakan suasana rumah yang bisa menjadi madrasah pertama untuk mereka.

Dalam pikiran sederhanaku, aku tak bisa selalu bersama mereka setiap waktu. Maka bekal ilmu akan menjadi pedoman untuk mereka. Semoga Allah ridha atas langkah kecil kami. Aamiin.


Lalu apa alasan kuatku menghadirkan buku yang tak murah di rumah?

Strongth why-ku!

1. Anak itu investasi.

Tak hanya investasi di dunia melainkan hingga ke akhirat kelak. Bagaimana mungkin bisa?

Tahu gak amalan yang mengalir saat kita sudah tiada nanti? Ada 3, harta yang disedekahkan, ilmu yang bermanfaat, dan terakhir anak yang sholih mendoakan orang tuanya.

Ketiganya disebut amal jariyah. Nah, inilah alasan terkuatku. Aku ingin berinevstasi melalui anakku. Apalagi kita sadar bahwa sejatinya sebagai orang tua kita sedang menyiapkan anak-anak ketika dia tak bersama kita lagi .

Jika selama ini kita rela mengeluarkan sekian rupiah untuk investasi harta dunia kita. Maka untuk anak mengapa tidak?

Anak adalah amanah.



2. Kebutuhan

Ya, aku bilang ini kebutuhan bagi kami. Khususnya di usia golden age, perkembangan otak anak sangat optimal. Sangat di sayangkan jika dilewatkan begitu saja. Maka, perlu bagi orang tua memantau milestone tumbuh kembang anak.

Dalam hal ini aku fokus pada perkembangan bahasanya. Karena di era digital ini kasus speechdelay mulai banyak terjadi. Kenapa? Karena minimnya stimulasi bahasa pada anak.

Nah, kehadiran buku yang tepat dan membacakan pada anak akan merangsang kecerdasan bahasa anak. Dan aku membuktikannya.

Tak hanya menambah kosakata, melainkan merangsang kerja otak agar lebih maksimal. Inilah manfaat membacakan buku sejak dini.

Selain itu, menanamkan kecintaan literasi sejak dini.


3. Alternatif Hiburan

Alhamdulillah, entah komitmen entah karena sok sibuk.
Sejak awal menikah tak ada prioritas bagi kami untuk menghadirkan kotak ajaib (katanya) itu di rumah.

Hingga kami punya duo sholihah. Rumah bertahan tanpa kotak ajaib itu. Pernah suatu kali ibu mertua bertanya, " Hiburan kalian apa?"
Kamipun menjawab, " Banyak bu, bisa tidur, bisa baca buku, keluar rumah terus pulang lagi ke rumah buat istirahat."

Setelah anak-anak lahirpun pertanyaan itu muncul kembali, jawaban kami. " Gakpapa banyak mainan di rumah. Bisa main sama kami. Baca buku." Bukan sombong atau apa. Karena memang kami tahu sebagian menganggap bahwa kehadiran TV di tumah bukanlah barang tersier. Melainkan kebutuhan primer untuk memecah kebosanan mereka.

Setelah hadir handphone. Beberapa pun menyampaikan bahwa memberika  handphone anak adalah agar bisa jadi salah satu mainan mereka. Entahlah, kenapa hati kecilku menolak. Benar-benar menolak.

Apakah anak-anakku free gadget?
Tidak!

Meski di rumah tanpa televisi. Anak sulungku mengenal smartphone. Bahkan sudah pandai mengoperasikan sendiri. Bagaimanapun, terlahir sebagai generasi alpha. Kami tak bisa membuat dia jauh dari gadget. Kami kenalkan saat dia usia 2 tahun.

Ya dua tahun. Benar2 kenal gadget. Meski sebelumnya, dia tahu dan tidal benar2 kami berikan buat dia interaksi secara langsung.

So?
Ada konsekuensi.
Banyak yang menyampaikan bahwa TV, gadget dan semacamnya itu hiburan karena itulahbadanya sekarang. Tidak menolak tapi juga tidak sepenuhnya setuju.

Maka, saat kami tak menghadirkan benda2 itu. Konsekuensi yang kami ambil adalah menyediakan alternatif hiburan yang lain. Khususnya kehadiran kami yang harus "menarik" untuk mereka.
Menggantikan posisi kotak dan layar ajaib itu.
Mainan ( sebenarny gak begitu banyak ), buku-buku atau agenda jalan-jalan ala kami.

Begitulah, mudahkan menjalaninya?
Tidak juga. Tapi dengan tekad yang kuat insya alloh kita akan punya pegangan.

Buku.
Alhamdulillah masih menjadi posisi besar untuk anak-anak.
Mereka tertarik apalgi kalo bunda yang baca hihiii..
#tsah. 😅😅

Perlu kerjasama.
Perlu alternatif.
Perlu menemukan alasan kuat.

Komitmen 

“Menyempatkan waktu untuk bermain dengan anak adalah investasi terbaik yang bisa dilakukan oleh orang tua” - ESQ Team

Nah jadi begitu ya, tiga strongth why-ku. Dan satu tambahan yang menguatkan. 


4. Menjalankan Konvensi PBB Untuk Hak Anak

Pada tahum 1989, Majelis Umum PBB mendeklarasikan Konvensi Hak-Hak Anak. PBB berharap, para ibu, ayah, guru, perawat, dokter, pemimpin pemerintah, aktivis, tokoh agama, masyarakat sipil, korporat, media massa, kaum muda dan anak-anak, dapat memainkan peran penting dan menjadikan Hari Anak Sedunia sebagai suatu momentum untuk mewujudkan kesejahteraan anak.

Ini penguat sih, aku baru tahu sih adanya konvensi hak anak ini. Namu  diliat dari kacamata yuridis, artinya ada dukunga  hukum yang kuat bahwa anak itu berhak mendapatkan haknya.

Dalam pasal 28, menyebutkan, "Tiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas..."

Sebenarnya pasal ini ditujukan untuk pendidikan formal. Namun tak ada salahnya jika diterapkan di rumah. Apalagi rumah adalah sekolah pertama bagi anak kita bukan?

Dari rumahlah anak sejatinya belajar pertama kali. Siapa gurunya? Orang-orang di lingkungan rumah tersebut. Khususnya kedua orang tua mereka. Sebagaimana harapan PBB pada konvensi di atas yaitu peran ibu dan ayah.

Setelah membaca penjelasan super panjang di atas hehhe, lalu apa yang menjadi pertimbanganku peribadi ketika akan menghadirkan buku anak di rumah?

Ada 3 pertimbangan membeli buku buat aku,




1. Isi.

Jelaslah ya, aku pernah membahasnya di artikel seputar membaca sebelumnya. Nah, berkaitan dengan isi ini aku masih membuat kategori khusus.

a. Aku ingin menanamkan nilai ketauhidan melalui buku.
Jadi, penting bagiku bisa menghadirkan buku-buku yang memguatkan fitrah keimanan atau seputar dialog iman.

b. Buku yang menanamkan karakter baik sehari-hari. Misal nih, buku cerita seri Umma dan Oemar. Waktu kakak sedang fase toilet training, buku Oemar Tidak Pipis di Celana Lagi. Serta buku-buku yang lain meski bukan seri Umma dan Oemar.

c. Buku berisi tentang pengetahuan. Semacam ensiklopedia. Misal miliknya Rabbit hole, bukunya menarik secara isi maupun  penyajian. Seperti buku Hope yang menceritakan tentang pertumbuhan. Hwkakaka bagus!


2. Bahan.
Aku dulu tidak terlalu berpikir mengapa kertas pada buku beda-beda. Setelah memiliki anak aku bisa memahami. Untuk buku yang diperuntuk bagi anak-anak haruslah khusus. Apalagi jika mereka masih fase oral.

Buku diemut, digigit, disobek tentu menjadi rasa khawatir dan "eman" kan. Anak pertama adalah pembelajaran buat aku.

Jadi, saat anak kedua ini. Aku lebih hati-hati dalam memilihkan buku untuk dihadirkan di rumah. Saat bayi aku prefer buku bantal. Terbuat dari kain dan kadang ada pula dari flanel atau semacam bahan parasut.

Usia 6 bulan ke atas kemampuan indranya semakin baik. Jadi buku dengan penuh warna adalah pilihan. Bahannya? Harus boardbook. Kertasnya tebal bisa sampai kurang lebih 1-2  cm. Agak berat sih kalau di balik tapi jauh lebih aman. Serta hindarkan yang tampilannya bentul flip flap.


Di rumah ada buku cukup tebal kertasnya. Tapi malah jadi korban sobekan adik karena tampilannya buka tutup. Begitulah nasih buku.

Saat anak usia di atas 1 tahun. Barulah bisa disediakan buku flip flap atau geser. Buku yang halamannya mulai ada kalimat pendeknya.

Biasanya buku-buku semacam ini memang lebih ke kegiatan sehari-hari. Misal adab makan, mengenal anggota tubuh, dan lain-lain.

Saat anak udia pra sekolah, bisa disediakan buku yang mulai lebih panjang kalimatnya . Ceritanya utuh dan bisa didiskusikan saat atau setelah membaca.

Termasuk ilustrasipun kupastikan yang ramah anak. Karena buku bacaan anak yang banyak bercerita adalah gambar. Maka memastikan ilustrasi atau gambar pada buku aman untuk dikonsumsi juga menjadi pertimbangan memilih buku anak buat kami.


3. Harga terjangkau.




Hkwkaka, ini relatif ya. Jika bicara nominal yang harus kita bayar yang tampak hanya kertas. Maka ini bisa menjadi pertimbangan utama. Namun kenyataannya, isi dan bahan menjadi nilai yang layak dibayar dengab nominal tertentu dan tidak murah.

Seperti ceritaku di awal. Kami terlahir bukan sebagai anak sultan. Maka menghadirkan buku harga uang belanja tentu agak bikin "ngede". Bahasa Jawanya "ngoyo". Berusaha pakai banget.

Saat orang melihat kami bisa beli buku harga gadget canggih itu kebanyakan heran. Tapi aku memaklumi. Padahal akupun tak membelinya cash kok. Aku tak sanggup saat ini.

Jadi?

Beruntungnya pihak yang membuat buku membuat sistem bayar yang memudahkan kami. Ada 3 pilihan, bisa cash. Trik agar dapat harga murah maka harus rajij mantengin diskonan dari buku yang akan dibeli. Hehehe.

Masalahnya, saat diskon gede tiba uang tetap tak cukup. Hihihi. Cara kedua, arisan. Semacam mencicil gitu. Kita bayar perbulan dengan nominal tertentu. Jika sudah sampai urutan kita maka paket buku akan dikirim deh ke alamat kamu.

Ketiga, ini cara terakhir. Semisal ada yang khawatir dengan sistem no 2. Maka pilihan tabungan bisa menjadi solusi. Caranya, kamu bisa menabung setiap hari dengan nominal yang kamu suka. Makin konsisten makin cepat terkumpul.  Dimana nabungnya? Ada instantsi buku tertentu yang menerima sistem tabungan..

Sistemnya nabung tiap bulan dengan jumlah setoran minimal ditentukan. Nah, saat dana sudah terkumpul cukup untuk membeli buku maka uang dalam tabungan bisa dipakai. Jika lebih dikembalikan jika kurang tinggal membayar kurangnnya.

Pihak tim buku akan membantu mencarikan waktu yang tepat. Semisal saat diskon gede, maka mereka akan segera menghubungi teman-teman yang menabung.

Dua dari 3 di atas aku lakukan. Sungguh karena kamu bukan anak sultan. Menghadirkan buku harga jutaaan. Namun tingginya harapan maka kami ikhtiarkan.


Jadi begitu Sobat Hamim, perjalanan kami memilih hingga menghadirkan buku bacaan bergizi dan menyehatkan untuk anak kami.

Semoga bermanfaat!
Hamimeha
Bismillah, lahir di Pulau Garam, tumbuh di kota Santri, menetap di kota Pahlawan., Saat ini suka berbagi tentang kepenulisan-keseharian-dan parenting., ● Pendidik, ● Penulis 11 buku antologi sejak 2018, ● Kontributor di beberapa media online lokal dan nasional sejak 2019, ● Praktisi read a loud dan berkisah, ● Memenangkan beberapa kompetisi menulis dan berkisah, ● Narasumber di beberapa komunitas tentang parenting dan literasi. ●

Related Posts

35 komentar

  1. Pilihan buku anak sekarang luar biasa banyaknya. Orang tua perlu kerja keras juga nih untuk memilih-milih buku yang tepat buat anaknya. Disesuaikan dengan minat anak dan budget keluarga.

    Kadang saya suka iri sama teman-teman di luar negeri yang akses ke perpustakaan kotanya begitu mudah dan tersedia buku-buku bagus untuk anak-anak. Ini akan sangat membantu buat anak-anak yang perlu banyak membaca, tapi nggak harus punya sendiri juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali kak.hahahaha. nah makanya aku bikin kriteria lagi di bagian isi. Karena itu yang paling bisa menjadi landasan memutuskan jadi beli apa tidak.

      Hapus
  2. Aku sepakat sih buku untuk anak itu investasi. Dari segi literasi, ga hanya bisa baca tapi paham. Nggak hanya sekedar terpaksa, tp cinta sama buku. Semangat terus menyajikan literasi terbaik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul.. karena menumbuhkan kecintaan literasi sejak dini itu penting. Literasi banyak sih hehehe tapi yang pertama literasi baca tulia

      Hapus
  3. Harus berawal dari orangtuanya nih, baca buku itu kan good habit ya. Tapi susah dijadiin habit haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes. Teladan itu pastikan dari rumah ya. Bagaimanapun orti guru pertama bagi anak. Tak hanya apa yang diomongkan tapi yang diliat

      Hapus
  4. Sebagai ibu yang masih punya anak kecil, tidak hanya menyediakan makanan yang bergizi ya mom, ternyata buku bacaan bergizi jugaa penting. Semoga menjadi generasi yang lebih baik lagi ini anak-anak nantinya😇

    BalasHapus
  5. Pendidikan ke anak itu memang investasi sekaligus amanah yang harus ditunaikan yang akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak nanti oleh Tuhan. Memberikan buku-buku yang bagus adalah salah satu ikhtiar ya mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyup. Tugas kita adalah melakukan ikhtiar sebaik mungkin

      Hapus
  6. Waaw tulisan yang sangat mendalam. Sepertinya saya mesti mengekor kakak mengoleksi buku anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehee silakan silakan. Semoga bermanfaat

      Hapus
  7. Aku setuju mba, tantangan orangtua saat ini semakin berat. Tak cuma tv tapi gadget juga. Akupun berusaha menghadirkan buku di rumah, sebagian malah aku beli dari toko buku bekas sebagai bentuk ikhtiar yang kami mampu lakukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bunda. Sebenernya beli buku denga harga terjangkau sih. Karrna buku bekas yang masih layak dam bagus banyak. Jadi gakpapa. Isinya yang penting aman buat anak-anak

      Hapus
  8. Harga terjangkau ini jadi prioritas pas beli buku anak. Seringnya nabung kalau pas ada promo buku baru borong.

    BalasHapus
  9. Ya Allah besar sekali manfaat dari Buku. Aku kagum dirimu tetap berusaha memberikan terbaik untuk anak. Aku sempet berpikir loh ttg beli buku yang paket mahal itu. Slrg jadi nggak ragu sadar investasi anak masa depan.tq

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Sama kami juga mikirnya panjang waktu mau boyong buku mahal. Tapi karena ingat manfaatnya jadi bismillah..

      Hapus
  10. Masyaallah tulisannya ngena banget. Berasa lagi di sentil 😄
    Jadi pengen beli buku juga buat anak-anak. Aku baru punya 1 yang model gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hhihihi sentilan sayang.. sama bun. Kami juga gak banyak buku model macam itu. Sesuai kebutuhan sih

      Hapus
  11. Sama saya dan Suami memilih gak pake kotak ajaib di rumah. Jadi kalau liburan ke rumah mertua baru tuh nonton tv hehe. Toh ada YouTube wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha iya mertua juga bilang "kasian anakmu gak punya hiburan". Mau tak jawab, "Sekarang itu terlalu banyak hiburan jadi harus dipilih dan dipilah " hehe

      Hapus
  12. aku juga tipe yang percaya bahwa tidak ada yang bisa menggantikan emosional kita dengan anak. Makanya slogan here and now ini diinget-inget banget, karena meski kita here sama anak, kita nggak hadir now secara sadar...termasuk saat mendampingi anak baca buku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes.. termasuk dalam pengasuhan. Bahwa tipe generasi apapun anak cucu kita. Kehadiran kita tak tergantikan. Khususnya adab dan emosi

      Hapus
  13. akupun sedini mungkin sering membacakan buku ke anak2 agar kelak mereka mau membaca buku....

    BalasHapus
  14. Padahal buku salah satu tempat untuk melatih dan membiasakan anak dengan dunia luar yaa.

    Dan skrg ini kalau di daerah pedalaman, masih banyak yg meremehkan ttg keberadaan buku.

    BalasHapus
  15. Membaca buku sudah hal yang utama sebagai good habits dan menjadi hobi sehari-hari, sejak dini memang harus mengenal kata-kata huruf dan kalimat lewat membaca baik koran, artikel, maupun buku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes.. btul mbak. Tapi untuk balita gak boleh sembarang buku. Hehehe

      Hapus
  16. kalau membaca ulasan ini, jadi ingat almarhum ayahku ...

    BalasHapus
  17. Anaku juga kenal gadget smartphone karena main diluar sama temennya liat lagu anak anak dia pengen rebut, jadilah dia hobi baru mendengar musik dr hp, menemani waktu mainnya skrg uda mulai kasih buku bantal dr kain bahanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus bun.. gadget emang sebaiknya usia di bawah 2 tahun cukup buat telpon saja buat anak. Karena dampaknya luarbiasa

      Hapus
  18. jadi kepikiran klo punya anak pgn sajiin buku anak juga di rumah biar anak terbiasa liat buku dulu aja, alhamdulillah bgt klo jadi suka baca buku juga, bener bgt sih investasi itu mba

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular